CERPEN KITA (CERITA PENDEK KISAH NYATA)
Ku kayuh sepedah biruku pagi itu
melewati jalan setapak yang penuh dedaunan yang berguguran di kanan kiri jalan. Dengan pakaian putih
biru, kukayuh sepeda dengan semangat. Dari arah berlawanan, ada seorang
laki-laki yang bersandar di sepedanya dan menatapku. Aku menghentikan sepedaku
tepat di depan sepedanya.
“Ana ya ?”, Tanya lelaki itu
“iya, Mas Fatwan ?”, Tanyaku balik
“iya. Senang bertemu denganmu”, ucapnya dengan senyum
“Ah, iya senang bertemu denganmu juga. Tapi maaf, aku buru-buru
gak bisa lama”, ucapku dengan malu
“oke, hati-hati ya”, ucapnya dengan senyum
Aku pun melanjutkan perjalananku ke
sekolah untuk mengambil Ijazah dengan perasaan senang. Bagaimana tak senang,
akhirnya aku bisa menemui kenalanku untuk pertama kalinya. Terlebih dia sangat
tampan.
Sesampainya ke rumah, aku
mengiriminya pesan. Tak lama, dia pun membalas pesanku, dan ya, kami saling
berbalas pesan. Hingga akhirnya dia mengirimiku sebuah pesan singkat namun akan
mengubahku jauh,
“Mau gak jadi pacarku?”, begitu bunyi pesannya.
“Iya, aku mau”, jawabku di pesan singkatnya dengan
memukul-mukul guling merah muda bermotif bunga-bunga yang barada tak jauh dari
tempatku duduk.
Minggu pagi yang berangin, aku dan
dia janjian bertemu di sebuah lapangan sepak bola. Pagi itu, suasana sangat
sepi dan angin yang berhembus cukup membuatku merasa dingin. Cahaya matahari
belum begitu Nampak, masih dengan goretan goretan biru agak kemerahan. Aku bisa
melihat perbukitan yang memanjang tepat di belakang lapangan, sedang di kanan
dan kiri lapangan, banyak ditanami tanaman tebu oleh masyarakat sekitar. Angin
yang berhembus pagi itu, membuat daun-daun tebu bergoyang dan membuat suara
gesekan daun tebu. Begitu sepi, namun sejuk.
Aku pun duduk di tengah lapangan dengan menikmati suasana pagi
itu. Tak berapa lama, fatwan pun datang dengan sepedanya. Sepeda yang sama
ketika pertama kita bertemu, polygon hitam.
“Sudah lama ? maaf ya, sudah membuatmu menunggu”, ucapnya
sambil memarkirkan sepedanya.
“Ah tidak. Baru saja aku datang”, jawabku dengan senyum
“Syukurlah. Mau sekolah dimana, Na?”, Tanya Mas Fatwan sambil
mulai duduk di sebelahku beralaskan sandalnya sendiri
“Di SMA dekat sini aja sih, Mas”, jawabku sambil menatap
matanya
Kami pun saling bercerita satu sama lain, sesekali diselingi
canda tawa di tengah perbincangan kami.
“Aku bingung Na”, curhat Fatwan
“Bingung kenapa Mas?”, tanyaku
“Ibuku menyuruhku untuk melanjutkan pendidikanku di
Pesantren, sedangkan Ayahku menyuruhku untuk tetap bekerja di sini”, ucapnya
sembari tangan yang memegang lutut dan mata yang menatap perbukitan.
Ya, dia 4 tahun lebih tua dariku. Sejak lulus SD, dia mulai
masuk pesantren.
“kalau Mas Fatwan maunya gimana ?”, tanyaku sembari melihat
wajahnya
“Aku ingin melanjutkan pendidikanku di pesantren, seperti
keinginan ibuku. Aku ingin mengabdi di pesantren”, jawabnya sambil menatapku
“Ya, kalau gitu, pergilah Mas. Kejar apa yang menjadi
keinginan Mas”, jawabku dengan senyum. Tapi sungguh, rasanya ingin membuatnya
tetap bertahan disini. Namun, aku akan menjadi egois jika melakukannya.
“Kamu gak apa-apa, aku tinggal?”, tanyanya sambil menatapku
“Gak apa-apa mas. Kan itu mimpinya Mas Fatwan”, jawabku
dengan senyum palsuku
“Nanti aku akan pikirkan lagi ya”, jawab Fatwan sambil
memegang kepalaku
Saat matahari mulai beranjak semakin
naik dan angin mulai bergerak berlahan, kami memutuskan untuk pulang ke rumah
kami masing-masing.
Satu Minggu setelah pertemuan kami,
Mas Fatwan sama sekali tidak menghubungiku sama sekali. Aku mencoba
menghubunginya, namun tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya, aku mencoba
menghubungi Ivan, teman Fatwan dengan meneleponnya.
“Hallo Van, aku Ana. Kamu lagi sama Fatwan gak? aku udah
hubungi dia, tapi sama sekali gak ada jawaban. Mas Fatwan kenapa ya ?”, tanyaku
tanpa basa basi
“Hallo, oh Ana. Lha emang kamu gak dikasih tahu sama Fatwan,
kalau dia nerusin pendidikannya di Pesantren ?”, ucap Ivan
“Dia emang cerita kalau mau melanjutkan pendidikannya di Pesantren.
Tapi, dia gak kasih tahu kalau mau berangkat kapan”, jawabku dengan panik
“lho, dia berangkat setelah ketemu sama kamu lho, Na”, ucap
Ivan dengan tenang
“Oke, makasih ya Van, udah kasih tahu”, jawabku dan menutup
telponnya
Satu bulan berlalu begitu saja. Aku memadatkan jadwal
harianku sepadat-padatnya. Seperti sekolah, belajar, ikut ekstrakulikuler
basket, pramuka dan tari. Semua itu aku lakukan, agar tidak terus- menerus
kepikiran dia. Meskipun terkadang masih memikirkannya.
Tengah malam pukul 00.30 WIB, aku menerima sebuah telepon
dari nomor yang tidak kukenal.
“Hallo, Ana. Gimana kabarmu ?”, Tanya seseorang ditelepon
“Baik. Siapa ya?”, tanyaku dengan ketus
“Fatwan”, jawabnya
“Fatwan? Mas Fatwan? Kenapa baru hubungi aku sekarang mas?”,
tanyaku dengan tergesa-gesa
“Ah maaf ya, buat kamu nunggu. Aku gak sempet kasih kabar.
Aku sekarang ada di Pesantren. Jadi gak bisa sering-sering pegangan HP”,
jawabnya dengan lembut
“Tak apa. Sekarang Mas Fatwan sudah menghubungiku juga.
Makasih ya mas, sudah mengingat aku. Sekarang ada di mana mas”, ujarku dengan
senang.
“Aku di Pesantren Kediri sekarang. Aku menemani adikku yang
juga mondok disini,” jawabnya dengan tenang
“oh gitu Mas. Kapan mau balik ke sini lagi?”, tanyaku dengan
antusias
“aku gak tahu Na, kapan aku bisa ke situ. Tapi aku nanti juga
pasti kesitu kok. Tenang aja. Gimana sekolahnya? ”, jawab Fatwan
“Lancar Mas. Mas sendiri gimana ?”, tanyaku balik
“Alhamdulillah baik, Dek”, jawabnya dengan lembut
Kami pun saling bertanya dan bercerita selama kami tidak pernah
bertemu.
Sebulan sekali tepatnya, Mas Fatwan menghubungiku dengan
menelepon setiap tengah malam.
Mas fatwan juga pernah tak menghubungiku selama 2 bulan. Tapi
aku selalu positif thingking, kalau
dia pasti sibuk. Dan suatu ketika teman dekatku bertanya
“Na, kamu masih sama Mas Fatwan-mu itu?”, Tanya Sari
“iya masih, emang kenapa Sar ?”, tanyaku penasaran
“Kok kamu masih mau sih sama dia? udah jarang hubungi kamu,
orangnya aja gak kelihatan batang hidungnya”, celetuk Sari
“Dia sibuk Sar. Dia kan di pesantren, jadi gak slalu pegang
HP”, jelasku dengan santai
“Iya, tapi kan masak sih sibuk terus, gak ada istirahatnya?
Emang kamu gak curiga sama sekali?”, Tanya Sari
“Sejauh ini sih enggak Sar. Aku yakin dia lagi fokus ngejar
mimpinya”, jawabku dengan senyum
“Ya udah deh, terserah kamu aja”, Jawan Sari
Saat aku belajar, sesekali aku menengok
HP di sebelahku, untuk memastikan apakah Mas Fatwan menghubungiku. Namun,
sia-sia yang kudapat. Akhirnya, aku memutuskan untuk focus belajar dan membuat
targetku sendiri. Targetku, aku akan menjadi juara 1 di kelas.
“Mas Fatwan focus mengejar mimpinya, harusnya aku juga focus
mengejar mimpiku. Aku akan membuat dia bangga punya pacar yang pintar
sepertiku. Dia mengejarilmu Akhirat, sedangkan akumengejar ilmu dunia. Kita
akan menjadi pasangan yang pas, pasangan yang saling melengkapi satu sama
lain”, pikirku dalam hati
Anggapan tersebut, sangat men-trigger diriku untuk belajar lebih keras
dan lebih lama dari teman-temanku yang lain. Aku belajar mulai dari jam 18.00
sampai jam 23.00WIB, kemudian aku tidur. Namun, secara tidak disengaja, aku
selalu bangun jam 00.30 WIB untuk melihat HP. Berfikir apakah Mas Fatwan
menghubungiku atau tidak. Karena di jam tersebut, Dia slalu menghubungiku.
Kadang, aku belajar sampai jam 00.30 WIB, sekaligus untuk memastikan apakah dia
menghubungiku.
Malam hari, pukul 00.30 WIB aku belum
tidur.Aku masih asik dengan belajarmatematika ditemani secangkir kopi sambil
mendengarkan radio siaran malam yang lagunya lumayan enak. Tiba-tiba HP ku
berbunyi dengan nyaring dan mengagetkanku.
“ Assalamuaikum, Dek. Gimana kabarnya?”, Tanya Mas Fatwan
dengan lembut
“Waalaimusalam Mas. Alhamdulillah baik. Mas Fatwan gimana ?”,
jawabku
“Baik juga dek. Kok belum tidur dek ?” Tanya Mas Fatwan
“Iya, baru belajar Mas, sambil nunggu Mas fatwan, siapa tahu
menghubungiku”. Jawabku
“oh gitu, maaf ya dek, buat kamu begadang”, ucap Mas Fatwan
“Ah. Gak apa apa Mas. Ini kan keinginanku sendiri. Mas, aku
mau Tanya. Kenapa pesan-pesanku selama ini gak pernah Mas balas? Dan kenapa
setiap jam 02.30, percakapan telepon kita selalu berhenti? Apa ada yang Mas
Fatwan sembunyikan ?”, tanyaku dengan penasaran
“Kalau di pesantren, kita gak boleh bawa HP dek. Ini aja aku
sembunyi-sembunyi. Nanti kalau ketahuan, HP mas diambil”, jelas Mas Fatwan
“Oh gitu ya. Maaf ya Mas udah tanya macam-macam”, ucapku
“Gak apa-apa dek”, jawab Mas Fatwan
Kami pun saling bercerita setiap bertelepon.
Setelah percakapan malam itu, Mas
Fatwan tidak menghubungiku selama 2 Bulan. Aku berusaha untuk meneleponnya,
tidak ada jawaban. Aku kirim pesan pun, tidak ada yang dibalas. Sore hari
ketika sedang bersantai setelah membersihkan rumah, telepon ku berdering dengan
nyaring
“Hallo, Siapa ya ?”
“Aku Ivan. Kamu masih dengan Fatwan , Na ?”, Tanya ivan
“Iya, masih. Kenapa Van?”, tanyaku penasaran
“betah banget sama Fatwan. Padahal udah lama gak ketemu lho
Na”, ucap Ivan
“Hahaha iya Van. Emang kenapa ?”, tanyaku balik
“Yakin sama fatwan? udah lama gak ketemu, hubungan juga
jarang kan, mana tahu dia udah ada pacar disana”, ucap Ivan
“Ahh gak Van, aku percaya sama dia”, jawabku tegas
“Oh percaya”, jawab Ivan singkat.
Percakapan kami di telepon begitu
singkat, yang hanya membahas mengenai keseriusanku menunggu Fatwan dan seberapa
jauh aku percaya dengan pacarku itu. Anehnya, dibalik suara Ivan, aku mendengar
ada laki-laki lain yang ikut mengomporiku sambil tertawa. Seperti suara Mas
Fatwan. Tapi segera kusingkirkan prasangka itu.
Beberapa hari setelahnya, Mas fatwan
menghubungiku lagi. Yah, seperti biasa, tengah malam dan berakhir di jam 02.30
WIB. Setelahnya, kami tak berhubungan selama 2 bulan.
Selama 2 bulan itu, aku sudah menerima rapotku. Yess, aku
mendapat juara 1 yang aku targetkan. Tak sabar, aku ingin membagi kabar baik
ini dengan Mas Fatwan.
“Aku ingin dia bangga punya pacar yang pintar sepertiku”,
Gumamku dalam hati
Satu bulan pun berlalu, pesanku juga
tak dibalas dan teleponku juga tak pernah dijawab. Hingga akhirnya aku pasrah
dengan hubungan ini.
Aku menjalin hubungan dengan orang lain,
teman masa SD ku, Kurniawan. Aku menjalin hubungan dengan Kurniawan tanpa kata
putus dari Mas Fatwan. Entah itu bisa disebut perselingkuhan atau bukan.
Sedangkan Kurniawan, dia tahu semua tentang hubunganku dan Fatwan dengan jelas.
Syukurlah Ia menerimanya, meskipun hatiku merasa ada yang salah dengan hubungan
ini. Tapi disisi lain, Mas Fatwan sama sekali tak menghubungiku.
Sore hari yang cerah, hp ku yang masih aku charging,
tiba-tiba suara siulan berbunyi.
“suiiiittt”, suara pesan masuk
“Mas Fatwan ?”, ucapku saat membuka pesan itu
“Assalamualaikum dek, gimana kabarnya”, pesan mas Fatwan
“Waalaikumsalam mas, baik. Mas Gimana?”, balasku
“Alhamdulillah baik dek. GImana sekolahnya, lancar? Udah
terima rapot ya?”, tanyanya
“Sudah mas. AKu dapat ringking 1 lho J “, jawabku dengan senyum, meski dia
tak tahu aku sedang tersenyummembalas pesan singkatnya
“Masak ?”, jawabnya singkat
“Iya mas, bener”, jawabku
“kamu cari yang lain aja ya?”, jawab mas fatwan.
Aku tak mengerti maksud pesannya ini. Sampai ku tanyakan
dengan jelas.
“Maksudnya gimana mas ?”, tanyaku
“Iya, kamu cari penggantiku aja ya”, jawabnya dengan singkat
Ku baca tulisan Mas Fatwan berulah kali, namun, tak brtubah
sedikit saja
Kaget, pasti kaget. Aku tak pernah
membayangkan dia akan meminta hal itu padaku. AKu hanya membayangkan, Mas
fatwan bangga punya pacar yang pintar sepertiku. Aku terlalu percaya diri, hingga
aku dijatuhkan sedalam-dalamnya.
“Kenapa Mas?”, tanyaku
“Karena kita akan lama tak bertemu Dek”, jawabnya singkat
“Gak apa-apa Mas, kan besok juga bakal ketemu kan?”, balasku
“Enggak Dek. Kita gak akan pernah ketemu. Kalaupun kita
bertemu, itu keajaiban”, balasnya dengan tegas
“Baik Mas, kalau itu yang menurut Mas Fatwan yang terbaik
untuk semua. Aku ngikut aja”, jawabku
“Maaf ya, kalau selama ini menyakitimu Dek. Makasih udah mau
sama Mas. Semoga kamu bisa bahagia”, balasnya
“Iya, Mas juga. Mas sekarang dimana?”, tanyaku
Namun, dia tak pernah membalas pesanku setelah itu.
Mengirim pesan hanya untuk memutuskan
hubungan ini, tanpa mengucapkan selamat seperti yang aku bayangkan. Rasaya
sangat pahit. Semester selanjutnya pun berlanjut, aku masih menduduki ringking
1 seperti semester lalu. Motivasi? motivasinya tentu berbeda. Motivasiku kali
ini adalah membuatnya menyesal meninggalkan diriku yang pintar ini.
Namun, motivasi itu tak berlanjut
untuk semester berikutnya. Ringkingku terjun bebas ke ringking 10. Konyol
memang menjadikan oranglain sebagai motivasi, berharap dianggap dan
dibanggakan, malah mendapat yang sebaliknya.
Aku memikirnya selama aku menjalani
masa SMA ku. Meski aku bersama dengan yang lain, tapi rasaku masih tertinggal
bersama kepergiaanya. Semacam pelampiasan mungkin, atau berusaha membuka hati
untuk menyembuhkan luka hati? Entahlah. Aku tak menyangka yang awalnya
merelakan raganya pergi untuk mengejar cita-cita, akan berakhir Ternyata juga hatinya
Komentar
Posting Komentar